Menjelang Kelahiranmu
Satu hari sebelum engkau
menghirup udara di dunia ini
Hari ini tepat 40 minggu kau
bersemayam di rahim bunda. Menurut perkiraan dokter, seharusnya hari ini sosok
mungilmu sudah ada dalam gendonganku. Namun entah kenapa, sepertinya kau begitu
betah berada di dalam sana. Mungkin alam rahim begitu nyaman untukmu, sehingga
tanda-tanda kontraksi pun tak jua datang.
Tentu saja aku uring-uringan.
Rasanya seperti menunggu kekasih yang tak kunjung datang. Bisa kau bayangkan,
seperti menunggu seseorang yang begitu kau rindu keluar dari pintu kedatangan
sebuah bandara. Berkali-kali kau akan melongok ke sana. Tak sedetik pun kau palingkan
wajahmu dari arahnya. Dan saat yang kau nanti tak menampakkan batang hidungnya,
maka kecemasan menghinggapimu. Ada apakah?. Apa semua baik-baik saja?, apa ada
masalah?. Begitu pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di kepalaku.
Tak urung ayahmu pun gelisah.
Keluarga besar pun sudah berkumpul di rumah kita. Omamu,opa, bahkan adikku yang
juga tentemu dari Bandung sudah sejak dua hari yang lalu mendarat di Medan
untuk menyaksikan kehadiranmu di tengah-tengah kami. Semua tak sabar untuk
menyambutmu. Hal yang sangat lumrah mengingat telah lima tahun kami menantimu.
Akhirnya omamu memutuskan pulang
dulu ke rumah. Rumah kita kembali sepi.
Tak menunggu lama, esok harinya
aku dan ayahmu langsung mengunjungi dokter kandungan yang selama ini menangani
kehamilanku. Syukurlah saat di USG ternyata kau baik-baik saja, bahkan sedang
tersenyum-senyum menatap ke arah kami. Seolah mengatakan “ Hei, tunggu aku yah
bunda, sabaar”. Mendengar dokter mengatakan bahwa everything is gonna be alright, aku pun lega. Namun dokter
menyarankan bila sampai besok pagi tidak ada tanda-tanda kau akan keluar, aku
harus segera ke rumah sakit agar dilakukan tindakan untuk merangsang dirimu mencari
jalan lahir.
Aduuh, mendengarnya aku langsung
tidak tenang. Dalam bayanganku , apa yang kutakutkan akan terjadi, seperti cerita-cerita
temanku, ujung-ujungnya dokter pasti melakukan tindakan operasi jika kau tak
kunjung muncul. Padahal dari awal kehamilan aku sudah bertekad untuk melakukan
persalinan secara normal. Bukan karena sok kuat atau apa, tapi setelah penantian
panjang ini, aku ingin benar-benar merasakan kehadiranmu secara alami, merasakan
dirimu keluar dari diriku dalam keadaan sadar bukan dalam pengaruh bius.
Maka sepulang dari dokter, jam
delapan malam, aku pun heboh mengambil kain pel di rumah. Seluruh lantai rumah
aku pel sambil jongkok (ngepel ala mbok2). Karena menurut orang-orang, cara
tersebut bisa mempercepat kontraksi. Kata abangku udah kasep, harusnya dari
sebulan yang lalu aku sudah melakukannya. Yah benar juga, aku memang termasuk
ibu hamil yang sangat pemalas. Udah sering dinasehatin orang supaya banyak
jalan, banyak ngepel menjelang lahiran, tapi aku tak melakukannya. Jalan pagi
paling hanya kulakukan dua sampai tiga kali saja. Di usia Sembilan bulan ,
kakiku bengkak dan sakit buat dibawa jalan, makanya aku malas sekali melakukan
jalan pagi. Ditambah ayahmu yang susah sekali dibangunkan pagi-pagi, lengkaplah
kami menjadi pasangan yang pemalas.
Awalnya niat banget, jalan pagi
di lapangan Merdeka Medan, satu keliling lapangan kujalani bersama ayahmu. Yang
kedua, jalan keliling komplek perumahan kita, tapi begitu ketemu tukang roti,
jalan pagi pun berhenti ,diteruskan dengan menyantap roti bantal yang entah
mengapa begitu kugandrungi selama mengandungmu. Dan kali ketiga, ya di pagi
hari kelahiranmu, setelah malamnya aku mengunjungi dokter, pagi-pagi ayahmu pun
mengajakku jalan keliling komplek lagi. Kali ini agak jauhan dan agak lamaan.
Berharap sekali tiba-tiba aku merasakan sakit. Namun, tampaknya semua usaha dadakan tersebut
tak bisa membujukmu untuk keluar.
Malam itu walau lelah luar biasa
sehabis mengepel seantereo rumah, mataku tak kunjung mau dipejamkan. Ketakutan
menguasaiku. Sungguh aku tidak tenang. Berulangkali ayahmu memintaku untuk
segera tidur, katanya kalau besok aku bersalin biar punya tenaga. Duh bukannya
malah ngantuk, aku malah tambah senewen mendengar kata bersalin.
Untuk menenangkan diri, kubuka
internet. Kutelusuri semua informasi yang ada tentang proses kelahiran yang
lewat waktu. Kebanyakan mengatakan itu adalah hal yang wajar apalagi untuk
kehamilan pertama. Informasi mengenai induksi pun kubaca dengan rakus. Hmm
syukurlah ternyata dari beberapa artikel tidak ada yang mengatakan bahwa
tindakan itu berbahaya bagi janin dan ibu.
Awalnya aku dan ayahmu berpikir
untuk menunggu kontraksi saja beberapa hari lagi, karena katanya mbah google,
usia kehamilan itu masih normal sampai usia 41 minggu. Namun, setelah ayahmu
menelepon teman yang ayahnya dokter kandungan juga dan menyarankan agar segera
saja dilahirkan, kami pun jadi galau lagi. Bagiku apapun yang terpenting adalah
keselamatanmu. Walaupun di internet bilang usia kehamilanku masih wajar, namun
karena dokter bilang demikian, aku lebih memilih saran dokter yang menurutku
pasti lebih tahu kondisiku dan dirimu di dalam sana.
Hingga subuh, ternyata aku tetap
tidak bisa tidur. Sayang….. bundamu yang gahar ini ternyata penakut.
Ikut saran dokter aja mbak. Takut kenapa2. Saya aja lahiran ketuban hijau, katanya lewat waktu. PAdahal perhitungan pas 40 minggu.
BalasHapusWah sama 40 minggu juga. Saya takut banget krn perut saya gantung terus, ga turun2. Mana pengalaman kaka ipar yg more than 40w anaknya hrs diinkubasi sampe seminggu gara2 ketuban ijo. Jdnya panik dan bertekad harus mengeluarkannya. Alhamdulillaah ga apa2. Skrg dia udah 3thn.
BalasHapusSelamat ya mba.. Sehat selalu dede, bunda, ayahnya.. :)
Aku masuk 38 belum ada tanda2 juga malah kudu diet :"(
BalasHapus