sebelumnya, baca ini
28 Mei 2013
Pagi-pagi setelah sholat subuh,
ayahmu pun mengajakku jalan pagi keliling komplek rumah kita. Kali ini rutenya
lebih panjang dan lebih lama, sampai dua putaran kami lalui dalam rangka masih
berharap kau tiba-tiba memberi sinyal untuk launching. Namun sampai jam 7 pagi
dirimu masih anteng tak bergeming.
Maka setelah meminta ijin ke
kantor, jam Sembilan pagi itu kami pun capcus ke rumah sakit setelah terlebih
dahulu menghubungi dokter kandunganku.
Ini benar-benar di luar bayanganku dan di luar rencana
kami. Kemarin-kemarin aku membayangkan akan ada suasana panik saat aku
mengalami kontraksi, mungkin di malam hari saat kami sudah terlelap, atau di
pagi subuh saat kami belum bangun. Yang paling ekstrim kubayangkan saat ayahmu
lagi berada di kantor atau di luar kota, mungkin aku akan heboh sendiri atau
malah menelepon taksi. Ayahmu akan buru-buru pulang ke rumah, dengan aku yang
mungkin sudah tak berdaya. Tas yang berisi perlengkapanmu yang sudah kusiapkan
jauh-jauh hari akan segera diangkat ayahmu ke mobil. Dan dengan gugup kami akan
meluncur ke rumah sakit. Begitulah skenario kelahiranmu dalam benakku.
Namun,pagi ini semua berjalan
tenang. Setelah jalan pagi, aku mandi dan segera sarapan. Jaga-jaga jika memang
harus melahirkan , aku punya energy untuk mengeluarkanmu. Bahkan kusempatkan
untuk minum kopi yang dicampur dengan kuning telur ayam kampung, katanya sih
bisa menambah stamina. Yang agak nervous ternyata ayahmu, kusuruh sarapan pun
ia sudah tak mau lagi. Berulangkali dia mengatakan, aku tak cukup tidur,
sebaiknya besok saja ke rumah sakitnya. Aku ngga mau, takut mengambil resiko
sekecil apapun. Perjalananmu ke rumah sakit pagi ini berjalan lancar, tenang,
dan tanpa insiden apapun.
Sesampainya di rumah sakit, aku
segera diobservasi di ruang bersalin. Syukurlah ruang bersalinnya sangat
nyaman. Satu ruangan hanya untukku seorang. Ruangannya bagus, bersih dan
dilengkapi kamar mandi sendiri. Seperti kamar pribadi untuk kita, jadi aku
merasa rileks. Tak lama para suster datang, dan segera memeriksa pembukaanku.
Ternyata memang belum ada pembukaan sama sekali. Pyuuuh, benar-benar deh kamu
sayang, ngga mau keluar juga dari perut bunda. Trus aku dikasih obat pencahar,
untuk membuang semua kotoran di perutku biar waktu lahiran ntar udah bersih.
Ooow selama ini aku selalu ngeri membayangkan kalau pas ngeden bersamaan dengan
BAB, ternyata itu jarang terjadi yah.
Setelah saluran cernaku bersih, CGT
pun mereka pasangkan di perut untuk memantau detak jantungmu, Alhamdulillah
semuanya normal. Tak lama dokter kandunganku pun datang, lagi-lagi memeriksa
pembukaanku. Duh aku baru tahu ternyata melihat pembukaan itu, tangan si dokter
dan si suster masuk ke vagina. Ampuun deh sakitnya. Ayahmu yang berada di
ruangan bersamaku, namun dipisahkan oleh tirai sempat khawatir mendengar aku
mengerang-ngerang kesakitan. Baru periksa pembukaan dan aku sudah kesakitan?.
Hmmm ayahmu mulai meragukan kesanggupanku.
Alhamdulilah sudah pembukaan dua.
Aku mulai optimis.
Dokter menanyakan padaku, apa aku
masih mau lahiran normal?. Tentu saja, kan aku sudah bertekad dari awal.
Setelah mendengar jawabanku, si dokter pun mengintruksikan ini itu kepada para suster.
Memastikan bahwa aku ngga akan kesakitan, dan berpesan untuk bersabar padaku.
Okee deh memang cuma itu yang bisa kulakukan sekarang, bersabar.
Selang infus pun dipasangkan ke
tanganku. Kulihat suster tersebut menyuntikkan cairan ke dalam botol infuse
yang katanya adalah cairan untuk induksi atau sinto yang berfungsi untuk
merangsang terjadinya kontraksi. Aku sudah pasrah saja, berharap segera terjadi
pembukaan demi pembukaan.
Rasanya waktu berjalan lambat
sekali. Aku mulai masuk ke ruang bersalin ini pukul 10 pagi hari dengan
pembukaan dua. Sampai pukul tiga sore tidak ada perubahan yang berarti,
pembukaanku masih juga dua. Mulas-mulas mulai kurasakan. Saat serangan mulas
datang, aku hanya memejamkan mata sambil membaca ayat-ayat pendek yang kuhapal.
Walau sakit, namun aku masih bisa menahannya. Rasanya seperti mau mens, agak
panas dingin tapi masih bisa ditolerir. Namun gara-gara mulas itu aku sama
sekali ngga selera makan. Makan siang yang disajikan rumah sakit pun tak
kusentuh sama sekali. Hilang sudah keinginanku untuk melakukan apapun. Aku
hanya berbaring sembari mendengar detak jantungmu melalui CGT di sampingku.
Ayahmu yang baik hati itu selalu berada di sampingku. Ia hanya meninggalkanku
untuk sholat dan makan. Ya baru kusadari sejak pagi ia belum makan apapun juga.
Pukul lima sore, masih pembukaan
dua, aku mulai putus asa.Tujuh jam sudah, dan tak ada perkembangan yang berarti.
Tepat setengah tujuh aku
merasakan ada yang pecah di bawah sana, ternyata air ketuban, segera kupanggil
suster. Setelah diperiksa, Alhamdulillah sudah pembukaan 4, semangatku muncul
kembali.Bahkan aku masih sempat BBM-an ke sohibku, live report dari RS.
Tak lama ibuku yang juga omamu
datang. Aku memang sengaja tak mengabarkan dari pagi, takut ibuku panik, baru
sore hari aku memberitahukan keberadaanku di rumah sakit. Sambil membawa
makanan kesukaanku ibuku pun membujukku makan. Tapi entahlah rasanya tak berselera
sama sekali. Satu-satunya yang bisa masuk ke perutku hanya susu dan bubur yang
disediakan rumah sakit.
Pembukaan demi pembukaan pun
berlangsung, yang diwarnai dengan pertanyaan-pertanyaanku ke suter, “ Masih
lamakah sus?”. “ Udah bukaan berapa sus?”, “ Kira-kira jam berapa ini lahirnya
sus?”. Yang selalu dijawab dengan kata “ Sabar buuu, dedenya lagi cari jalan “.Hueeh,
tahu gitu bunda kasih aja kamu peta ya sayang biar cepet ketemu jalannya.
Kira-kira jam Sembilan malam,
suster datang lagi dan kembali menjulurkan tangannya ke bawah sana. Sudah
pembukaan tujuh, Alhamdulillah.
Setelah itu wow, gelombang rasa
sakit datang bertubi-tubi. Seperti ada tsunami di perutku. Kemarin-kemarin aku
sering dengar dari orang
“ Sakitnya seperti senggugut mau mens tapi dikali
1000” kata temanku.
Ada juga yang bilang “ Seperti kebelet BAB tapi sakiiiit
banget”, itu kata adikku.
Tapi menurutku hanya Allah dan
para wanita yang telah melahirkan lah yang tahu rasanya. Karena benar-benar
tidak bisa dideskripsikan. Lemas seluruh persendianku menahankannya. Setiap
rasa sakit datang, ayahmu mengenggam tanganku erat-erat, ya dia duduk di
sampingku, tak meninggalkanku sedetik pun. Bersama-sama kami lafalkan ayat-ayat
pendek. Baru disitulah kusadari ternyata hapalanku sangat sedikit, tak
sebanding jumlah surat pendek yang kuhafal dengan jumlah sakit yang datang.
Melihatku yang tidak bersuara
saat kesakitan, tante dan mimimu berkali-kali mengatakan
“ Undi, kalau
kesakitan teriak aja, jangan ditahan”.
Entahlah sayang, saat itu bunda sama
sekali tak berhasrat untuk teriak seperti seorang ibu di kamar sebelah yang
teriakan dan tangisannya membuatku merinding. Bagiku semakin aku teriak, rasa
sakit pasti akan semakin terasa. Untunglah sebulan belakangan aku sempat ikut
senam hamil. Teknik pernafasan yang diajarkan pun aku praktekkan, ambil nafas,
tahan,hembuskan. Berkali-kali kulakukan yang memang benar sedikit mengurangi
rasa sakit yang semakin menggila. Aku juga ingat kata instruktur senamnya, saat
sakit datang cobalah untuk tersenyum dan mensugesti diri bahwa itu tidak sakit.
Terdengar bullshit yah, tapi itu pun aku coba. Sambil meringis dan berusaha
tersenyum, kubayangkan mulut rahimku membuka, dan kuucapkan berkali-kali “ Ngga
sakit… ngga sakit… ngga sakit”. Kalau membayangkan sekarang pasti lucu sekali
kondisiku saat itu.
Setelah bukaan delapan aku mulai
hampir pingsan. Kata ayahmu wajahku sudah seputih kapas. Nak, kalau kau tahu
bagaimana sakitnya. Saat itu sempat-sempatnya aku berfikir, hanya perempuan
gila yang mau melahirkan berkali-kali. Ayahmu terus memelukku, digenggamnya
tanganku erat-erat. Bahkan ibuku pun tak sanggup lagi melihatku yang kesakitan
parah. Berulangkali ia bertanya ke susternya,
“ Mana dokternya, anak saya sudah
kesakitan itu”.
yang tentu saja dijawab suster dengan senyuman “ Sabar ibu,
dokter akan datang setelah pembukaan sempurna, saat ini kita cuma bisa
menunggu”.
Sampai frustasi sepertinya omamu, akhirnya ia keluar ruangan dan
menunggu kelahiranmu di luar saja.
Berkali-kali aku memanggil suster
saat sakit mendera . “ Suster, udah mau keluar” kataku memohon. Seperti ada
yang mendorong-dorong di bawah sana. Namun ternyata belum waktunya. Dan nak,
kau tahu saat suster memasukkan tangannya lagi ke mulut rahimku, disitulah
diketahui kepalamu sudah benjol nak, akibat aku yang mendorong atau istilahnya
mengejan sebelum waktunya sehingga kepalamu terbentur mulut rahim yang belum
terbuka. Tak ayal suster pun memperingatiku “ Bu, jangan ngeden dulu, kasihan
ntar bayinya kepalanya benjol, lagian kalau mulut rahimnya bengkak ntar ibu ga
bisa lahir normal lo, harus operasi “. Hwaa tentu saja mendengarnya aku takut
sekali. Aku takut kepalamu benjol karena kesalahanku dan aku juga takut kalau
harus dioperasi. Rasanya percuma dong aku menunggu selama hampir 12 jam ini,
kalau akhirnya harus operasi juga. Maka saat desakan untuk mengejan semakin
kuat , namun karena belum pembukaan sempurna , kutahan sebisa mungkin, sampai
keringat dingin keluar.
Jujur saja, aku hampir menyerah
nak. Sudah tidak kuat lagi menahan sakitnya. Dalam bayanganku kalaupun harus
operasi aku sudah ikhlas yang penting kau segera keluar dengan selamat.Berbagai
cara sudah kulakukan untuk mengurangi sakitnya. Mulai dari teknik pernafasan,
hipnobirthing dengan mensugesti diri sendiri, baca ayat, diam,semuanya lah.
Tapi sakitnya malah makin parah. Pada tahap ini aku sudah hampir menangis.
Ayahmu pun sudah tak tahu lagi mau melakukan apa untuk menolongku. Yang
dilakukannya mengusap-ngusap kepalaku dan menciumiku. Itu pun tak mengurangi
penderitaanku. Kedengaran lebay kan sayang bundamu ini. Tapi itulah
kenyataannya nak.
Tepat jam 10 akhirnya bukaanku
sempurna. Yang artinya hanya satu jam saja jarak antara bukaan tujuh ke
sepuluh, namun rasanya seperti berabad-abad bagiku. Tak lama dokter pun datang,
persiapan mengeluarkanmu pun dilakukan. Kedua kakiku dinaikkan ke semacam alat
yang aku tak tahu namanya, pokoknya yang membuat dokter akan lebih mudah
melihatmu keluar. Dan si dokter ya masih sempat-sempatnya becanda
samaku,padahal aku sudah menggeliat-geliat kayak ulet. Kata dokter, nanti saat
ada dorongan buat mengejan, aku harus mendorong sekuat tenaga.
Dan yang ditunggu pun tiba,
rasanya ada keinginan luar biasa untuk mengejan, seperti kebelet BAB dan pengen
pup begitulah rasanya. Dengan sekuat tenaga kudorong dirimu untuk keluar.
AAAArgh, rasanya enaaak sekali saat mengejan itu, hal yang dari tadi harus
kutahan-tahan untuk menghindari kepalamu dari cedera. Semua orang di ruangan
itu menyemangatiku, tiga orang suster, satu dokter dan tentu saja ayahmu. “
Ayo, ayoo dorong terus buuu sudah keliatan kepalanya”, seperti yel-yel mereka
mensupportku. Huuuft apa daya, nafasku tak cukup panjang, di tengah jalan aku
berhenti. Begitu terus selama empat kali. Rasanya sudah seluruh tenaga
kukerahkan tapi kau belum juga keluar. Disini aku mulai teriak “ AAAAArgh
setiap dorongan untuk mengejan datang. Suster pun memperingatiku untuk tidak
berteriak karena nanti tenggorokanku bisa sakit katanya. Dan nak, kau tahu, aku
yang biasanya suka ngga mendengarkan nasehat orang, kali ini begitu patuh.
Apapun yang dikatakan dan disuruh suster kuturuti, semata demi yang terbaik
untukmu. Kutahan suaraku agar tidak teriak lagi.
“ Windi, jangan mengejan di
tenggorokan, kamu harus mendorong kakimu saat mengejan, dan lihat ke arah perut
“ begitu si dokter menasehatiku.
Segera kuturuti perintahnya.
Begitu disuruh mengejan lagi, sekuat tenaga kudorong kakiku dan mengarahkan
pandanganku ke arah perut.
“ Ayo dek, sebentar lagi dek,
tahan “ Ayahmu pun tak mau kalah menyemangatiku.
Setelah kurasakan nafasku hampir
habis, namun tidak mau untuk mengulang proses dari awal lagi, dengan
sungguh-sungguh kukerahkan segenap dayaku , ini yang terakhir pikirku.
Disitulah rasanya hidup dan mati begitu tipis, dan kurasa mungkin banyak urat sarafku
yang putus akibat tenaga yang kukerahkan untuk mendorongmu.
Sekonyong-konyong seperti ada
sesuatu yang keluar dari tubuhku, kepalamu nak, dan tiba-tiba terdengar
tangismu memecah,memenuhi ruangan. Rasanya legaaaa luar biasa, nikmat tiada
tara. Plong dan aduuuh nak aku tak tahu mendeskripsikannya. Tapi benar-benar
enaaak dan nikmaaat. Mungkin inilah anugerah yang diberikan Allah kepada para wanita
yang tak mungkin dapat dirasakan kaum pria. Kenikmatan pasca melahirkan,
subhanallahu, benar-benar luar biasa. Bukan dalam arti kiasan tapi nikmat dalam
arti yang sebenarnya. Aku belum pernah merasakan yang lebih dari perasaan ini.
Detik
itu juga aku berkata dalam hati “ Aku mau melahirkan lagi “