[Gagal ] ASI Eksklusif

Menurut yang kubaca di internet dan buku-buku tentang bayi, bahwa bayi yang baru lahir dapat bertahan tanpa asupan apapun selama 72 jam, karena bayi membawa cadangan makanan dari rahim. Jadi sebenarnya tak mengapa kalau ASI belum keluar setelah melahirkan.

Dan itulah yang terjadi padaku nak, hingga hari kedua, ASIku belum keluar juga. Tekadku untuk memberimu ASI Eksklusif belum pudar. Untuk menenangkanmu saat menangis aku telah mengantisipasinya dengan mencari donor ASI, yaitu kakak iparku yang kebetulan masih menyusui anaknya. Jadi dia datang mengunjungi kita di RS sesuai jadwal minum susumu. Sayangnya ia tak bisa datang saat malam. Aku sudah was-was bagaimana kalau malam kau kehausan. Syukurlah malamnya teman-teman ayahmu datang, dan lagi-lagi kau dapat ASI dari seorang teman yang sebelumnya sudah kuminta untuk mendonorkan ASInya jika ASIKU belum keluar.Selamatlah kau dan tenanglah aku di hari kedua.

Malam Pertama Bersamamu

Oeee Oeee, lantang suaramu memecah malam. Tepat pukul 22.39 kau hirup udara dunia ini. Ayahmu seperti tak sabar untuk segera mengiqomatkanmu, buru-buru suster mencegahnya, karena tali pusatmu harus dipotong dulu. Xixixi, ayahmu memang sudah niat dari kemarin-kemarin, begitu kau lahir ia ingin suara pertama yang kau dengar adalah suaranya mengumandangkan kalam ilahi. Tampaknya niatnya itu tidak kesampaian, karena suara pertama yang kau dengar adalah suara suster dan suara dokter.

Kulihat suster meletakkanmu di sebuah timbangan bayi. Setelah ditimbang dan dilap seperlunya ayahmu pun diberi izin untuk mengiqomatkanmu.

Aku?. Aku lagi sibuk dengan pikiranku. Rasanya seperti mimpi. Beberapa waktu yang lalu aku kesakitan bukan main, dan detik ini tiba-tiba kau telah lahir, perutku kosong, dan rasa sakit hilang tak berbekas. Asli sayang, benar-benar kayak mimpi.



Dokter masih sibuk menjahit jalan lahirmu, sebelumnya aku telah dibius local jadi kali ini aku tak merasakan apapun. Syukurlah, kalau harus merasakan sakit lagi rasanya aku sudah tidak sanggup.

Tak sabar rasanya ingin segera memelukmu. Suster pun membawamu padaku. Sebelum persalinan aku memang sudah berpesan pada mereka bahwa aku ingin melakukan IMD ( Inisisasi Menyusu DIni). Tujuannya untuk mengurangi stress padamu pasca keluar dari alam rahim dan berkenalan dengan alam dunia. Jadi kau langsung diletakkan di atas perutku, skin to skin, untuk membuatmu nyaman karena kau akan mendengar detak jantungku, sama seperti yang biasa kau dengar saat masih di dalam kandungan.. Duuh sayang, kau begitu mungil dan terlihat tak berdaya, menggeliat-liat di atas tubuhku. Amazing membayangkan lima menit yang lalu kau masih di dalam diriku, kini kau sudah ada di hadapanku.

Tangan mungilmu menepuk-nepuk lembut payudaraku, katanya ini adalah reflekmu yang berguna untuk merangsang Air Susuku keluar. Kaki mungilmu menendang-nendang perutku, katanya lagi ini akan membuat rahimku berkontraksi dan mengeluarkan kotoran-kotoran dan darah nifas.

Selama satu jam lebih kita bercengkrama secara intim, diharapkan kau akan secara naluriah menemukan putingku dan menghisapnya. Namun sampai suster mengambilmu untuk dimandikan, kau belum sampai ke putingku. Tak mengapa, tak ada kata berhasil atau gagal dalam IMD , namun yang terpenting dilakukan atau tidak. Begitu yang kudengar dari seminar tentang IMD beberapa waktu lalu.

Setelah kau dimandikan dan aku dibersihkan, suster pun mengatar kita ke kamar. Karena aku berniat untuk memberimu ASI eksklusif ,maka kau tak dibawa ke ruang bayi tapi tidur bersamaku. Malam pertama bersamamu. Jujur saja, aku gugup, takut kalau kau menangis apa yang harus kulakukan. Benar saja, begitu sampai di kamar kau mulai memperdengarkan suaramu yang subhanallah, keras sekali sayang. Untung ada omamu, ia segera menggendongmu dan menenanangkanmu. Tampaknya kau haus. Dan inilah saatnya, pertama kali aku menyusuimu.

Wew ternyata tidak gampang. Air susuku belum ada, kau makin keras menangis, duuuh bingung aku. Ayahmu sudah pulas terlelap, sepertinya ia lelah luar biasa. Mungkin karena capek akhirnya kau tertidur juga. Sesekali kau bangun sambil merengek-rengek. Iseng kupindahkan kau dari box bayi ke atas tempat tidurku, tepat di sampingku. Dan hey kau langsung diam, tenang dan terlelap. Mungkin kau mendengar detak jantungku lagi sehingga tahu bahwa kau berada di tempat yang aman. Luar biasa feelingmu sayang.


Malam pertama sukses kita lewati.

Aku Mau Melahirkan Lagi

sebelumnya, baca ini

28 Mei 2013

Pagi-pagi setelah sholat subuh, ayahmu pun mengajakku jalan pagi keliling komplek rumah kita. Kali ini rutenya lebih panjang dan lebih lama, sampai dua putaran kami lalui dalam rangka masih berharap kau tiba-tiba memberi sinyal untuk launching. Namun sampai jam 7 pagi dirimu masih anteng tak bergeming.

Maka setelah meminta ijin ke kantor, jam Sembilan pagi itu kami pun capcus ke rumah sakit setelah terlebih dahulu menghubungi dokter kandunganku.

Ini  benar-benar di luar bayanganku dan di luar rencana kami. Kemarin-kemarin aku membayangkan akan ada suasana panik saat aku mengalami kontraksi, mungkin di malam hari saat kami sudah terlelap, atau di pagi subuh saat kami belum bangun. Yang paling ekstrim kubayangkan saat ayahmu lagi berada di kantor atau di luar kota, mungkin aku akan heboh sendiri atau malah menelepon taksi. Ayahmu akan buru-buru pulang ke rumah, dengan aku yang mungkin sudah tak berdaya. Tas yang berisi perlengkapanmu yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari akan segera diangkat ayahmu ke mobil. Dan dengan gugup kami akan meluncur ke rumah sakit. Begitulah skenario kelahiranmu dalam benakku.

Namun,pagi ini semua berjalan tenang. Setelah jalan pagi, aku mandi dan segera sarapan. Jaga-jaga jika memang harus melahirkan , aku punya energy untuk mengeluarkanmu. Bahkan kusempatkan untuk minum kopi yang dicampur dengan kuning telur ayam kampung, katanya sih bisa menambah stamina. Yang agak nervous ternyata ayahmu, kusuruh sarapan pun ia sudah tak mau lagi. Berulangkali dia mengatakan, aku tak cukup tidur, sebaiknya besok saja ke rumah sakitnya. Aku ngga mau, takut mengambil resiko sekecil apapun. Perjalananmu ke rumah sakit pagi ini berjalan lancar, tenang, dan tanpa insiden apapun.

Sesampainya di rumah sakit, aku segera diobservasi di ruang bersalin. Syukurlah ruang bersalinnya sangat nyaman. Satu ruangan hanya untukku seorang. Ruangannya bagus, bersih dan dilengkapi kamar mandi sendiri. Seperti kamar pribadi untuk kita, jadi aku merasa rileks. Tak lama para suster datang, dan segera memeriksa pembukaanku. Ternyata memang belum ada pembukaan sama sekali. Pyuuuh, benar-benar deh kamu sayang, ngga mau keluar juga dari perut bunda. Trus aku dikasih obat pencahar, untuk membuang semua kotoran di perutku biar waktu lahiran ntar udah bersih. Ooow selama ini aku selalu ngeri membayangkan kalau pas ngeden bersamaan dengan BAB, ternyata itu jarang terjadi yah.

Setelah saluran cernaku bersih, CGT pun mereka pasangkan di perut untuk memantau detak jantungmu, Alhamdulillah semuanya normal. Tak lama dokter kandunganku pun datang, lagi-lagi memeriksa pembukaanku. Duh aku baru tahu ternyata melihat pembukaan itu, tangan si dokter dan si suster masuk ke vagina. Ampuun deh sakitnya. Ayahmu yang berada di ruangan bersamaku, namun dipisahkan oleh tirai sempat khawatir mendengar aku mengerang-ngerang kesakitan. Baru periksa pembukaan dan aku sudah kesakitan?. Hmmm ayahmu mulai meragukan kesanggupanku.

Alhamdulilah sudah pembukaan dua. Aku mulai optimis.

Dokter menanyakan padaku, apa aku masih mau lahiran normal?. Tentu saja, kan aku sudah bertekad dari awal. Setelah mendengar jawabanku, si dokter pun mengintruksikan ini itu kepada para suster. Memastikan bahwa aku ngga akan kesakitan, dan berpesan untuk bersabar padaku. Okee deh memang cuma itu yang bisa kulakukan sekarang, bersabar.

Selang infus pun dipasangkan ke tanganku. Kulihat suster tersebut menyuntikkan cairan ke dalam botol infuse yang katanya adalah cairan untuk induksi atau sinto yang berfungsi untuk merangsang terjadinya kontraksi. Aku sudah pasrah saja, berharap segera terjadi pembukaan demi pembukaan.

Rasanya waktu berjalan lambat sekali. Aku mulai masuk ke ruang bersalin ini pukul 10 pagi hari dengan pembukaan dua. Sampai pukul tiga sore tidak ada perubahan yang berarti, pembukaanku masih juga dua. Mulas-mulas mulai kurasakan. Saat serangan mulas datang, aku hanya memejamkan mata sambil membaca ayat-ayat pendek yang kuhapal. Walau sakit, namun aku masih bisa menahannya. Rasanya seperti mau mens, agak panas dingin tapi masih bisa ditolerir. Namun gara-gara mulas itu aku sama sekali ngga selera makan. Makan siang yang disajikan rumah sakit pun tak kusentuh sama sekali. Hilang sudah keinginanku untuk melakukan apapun. Aku hanya berbaring sembari mendengar detak jantungmu melalui CGT di sampingku. Ayahmu yang baik hati itu selalu berada di sampingku. Ia hanya meninggalkanku untuk sholat dan makan. Ya baru kusadari sejak pagi ia belum makan apapun juga.

Pukul lima sore, masih pembukaan dua, aku mulai putus asa.Tujuh jam sudah, dan tak ada perkembangan yang berarti.

Tepat setengah tujuh aku merasakan ada yang pecah di bawah sana, ternyata air ketuban, segera kupanggil suster. Setelah diperiksa, Alhamdulillah sudah pembukaan 4, semangatku muncul kembali.Bahkan aku masih sempat BBM-an ke sohibku, live report dari RS.

Tak lama ibuku yang juga omamu datang. Aku memang sengaja tak mengabarkan dari pagi, takut ibuku panik, baru sore hari aku memberitahukan keberadaanku di rumah sakit. Sambil membawa makanan kesukaanku ibuku pun membujukku makan. Tapi entahlah rasanya tak berselera sama sekali. Satu-satunya yang bisa masuk ke perutku hanya susu dan bubur yang disediakan rumah sakit.

Pembukaan demi pembukaan pun berlangsung, yang diwarnai dengan pertanyaan-pertanyaanku ke suter, “ Masih lamakah sus?”. “ Udah bukaan berapa sus?”, “ Kira-kira jam berapa ini lahirnya sus?”. Yang selalu dijawab dengan kata “ Sabar buuu, dedenya lagi cari jalan “.Hueeh, tahu gitu bunda kasih aja kamu peta ya sayang biar cepet ketemu jalannya.
Kira-kira jam Sembilan malam, suster datang lagi dan kembali menjulurkan tangannya ke bawah sana. Sudah pembukaan tujuh, Alhamdulillah.

Setelah itu wow, gelombang rasa sakit datang bertubi-tubi. Seperti ada tsunami di perutku. Kemarin-kemarin aku sering dengar dari orang

“ Sakitnya seperti senggugut mau mens tapi dikali 1000” kata temanku. 

Ada juga yang bilang “ Seperti kebelet BAB tapi sakiiiit banget”, itu kata adikku.

Tapi menurutku hanya Allah dan para wanita yang telah melahirkan lah yang tahu rasanya. Karena benar-benar tidak bisa dideskripsikan. Lemas seluruh persendianku menahankannya. Setiap rasa sakit datang, ayahmu mengenggam tanganku erat-erat, ya dia duduk di sampingku, tak meninggalkanku sedetik pun. Bersama-sama kami lafalkan ayat-ayat pendek. Baru disitulah kusadari ternyata hapalanku sangat sedikit, tak sebanding jumlah surat pendek yang kuhafal dengan jumlah sakit yang datang.

Melihatku yang tidak bersuara saat kesakitan, tante dan mimimu berkali-kali mengatakan 
“ Undi, kalau kesakitan teriak aja, jangan ditahan”. 
Entahlah sayang, saat itu bunda sama sekali tak berhasrat untuk teriak seperti seorang ibu di kamar sebelah yang teriakan dan tangisannya membuatku merinding. Bagiku semakin aku teriak, rasa sakit pasti akan semakin terasa. Untunglah sebulan belakangan aku sempat ikut senam hamil. Teknik pernafasan yang diajarkan pun aku praktekkan, ambil nafas, tahan,hembuskan. Berkali-kali kulakukan yang memang benar sedikit mengurangi rasa sakit yang semakin menggila. Aku juga ingat kata instruktur senamnya, saat sakit datang cobalah untuk tersenyum dan mensugesti diri bahwa itu tidak sakit. Terdengar bullshit yah, tapi itu pun aku coba. Sambil meringis dan berusaha tersenyum, kubayangkan mulut rahimku membuka, dan kuucapkan berkali-kali “ Ngga sakit… ngga sakit… ngga sakit”. Kalau membayangkan sekarang pasti lucu sekali kondisiku saat itu.

Setelah bukaan delapan aku mulai hampir pingsan. Kata ayahmu wajahku sudah seputih kapas. Nak, kalau kau tahu bagaimana sakitnya. Saat itu sempat-sempatnya aku berfikir, hanya perempuan gila yang mau melahirkan berkali-kali. Ayahmu terus memelukku, digenggamnya tanganku erat-erat. Bahkan ibuku pun tak sanggup lagi melihatku yang kesakitan parah. Berulangkali ia bertanya ke susternya, 

“ Mana dokternya, anak saya sudah kesakitan itu”

yang tentu saja dijawab suster dengan senyuman “ Sabar ibu, dokter akan datang setelah pembukaan sempurna, saat ini kita cuma bisa menunggu”. 

Sampai frustasi sepertinya omamu, akhirnya ia keluar ruangan dan menunggu kelahiranmu di luar saja.

Berkali-kali aku memanggil suster saat sakit mendera . “ Suster, udah mau keluar” kataku memohon. Seperti ada yang mendorong-dorong di bawah sana. Namun ternyata belum waktunya. Dan nak, kau tahu saat suster memasukkan tangannya lagi ke mulut rahimku, disitulah diketahui kepalamu sudah benjol nak, akibat aku yang mendorong atau istilahnya mengejan sebelum waktunya sehingga kepalamu terbentur mulut rahim yang belum terbuka. Tak ayal suster pun memperingatiku “ Bu, jangan ngeden dulu, kasihan ntar bayinya kepalanya benjol, lagian kalau mulut rahimnya bengkak ntar ibu ga bisa lahir normal lo, harus operasi “. Hwaa tentu saja mendengarnya aku takut sekali. Aku takut kepalamu benjol karena kesalahanku dan aku juga takut kalau harus dioperasi. Rasanya percuma dong aku menunggu selama hampir 12 jam ini, kalau akhirnya harus operasi juga. Maka saat desakan untuk mengejan semakin kuat , namun karena belum pembukaan sempurna , kutahan sebisa mungkin, sampai keringat dingin keluar.

Jujur saja, aku hampir menyerah nak. Sudah tidak kuat lagi menahan sakitnya. Dalam bayanganku kalaupun harus operasi aku sudah ikhlas yang penting kau segera keluar dengan selamat.Berbagai cara sudah kulakukan untuk mengurangi sakitnya. Mulai dari teknik pernafasan, hipnobirthing dengan mensugesti diri sendiri, baca ayat, diam,semuanya lah. Tapi sakitnya malah makin parah. Pada tahap ini aku sudah hampir menangis. Ayahmu pun sudah tak tahu lagi mau melakukan apa untuk menolongku. Yang dilakukannya mengusap-ngusap kepalaku dan menciumiku. Itu pun tak mengurangi penderitaanku. Kedengaran lebay kan sayang bundamu ini. Tapi itulah kenyataannya nak.

Tepat jam 10 akhirnya bukaanku sempurna. Yang artinya hanya satu jam saja jarak antara bukaan tujuh ke sepuluh, namun rasanya seperti berabad-abad bagiku. Tak lama dokter pun datang, persiapan mengeluarkanmu pun dilakukan. Kedua kakiku dinaikkan ke semacam alat yang aku tak tahu namanya, pokoknya yang membuat dokter akan lebih mudah melihatmu keluar. Dan si dokter ya masih sempat-sempatnya becanda samaku,padahal aku sudah menggeliat-geliat kayak ulet. Kata dokter, nanti saat ada dorongan buat mengejan, aku harus mendorong sekuat tenaga.

Dan yang ditunggu pun tiba, rasanya ada keinginan luar biasa untuk mengejan, seperti kebelet BAB dan pengen pup begitulah rasanya. Dengan sekuat tenaga kudorong dirimu untuk keluar. AAAArgh, rasanya enaaak sekali saat mengejan itu, hal yang dari tadi harus kutahan-tahan untuk menghindari kepalamu dari cedera. Semua orang di ruangan itu menyemangatiku, tiga orang suster, satu dokter dan tentu saja ayahmu. “ Ayo, ayoo dorong terus buuu sudah keliatan kepalanya”, seperti yel-yel mereka mensupportku. Huuuft apa daya, nafasku tak cukup panjang, di tengah jalan aku berhenti. Begitu terus selama empat kali. Rasanya sudah seluruh tenaga kukerahkan tapi kau belum juga keluar. Disini aku mulai teriak “ AAAAArgh setiap dorongan untuk mengejan datang. Suster pun memperingatiku untuk tidak berteriak karena nanti tenggorokanku bisa sakit katanya. Dan nak, kau tahu, aku yang biasanya suka ngga mendengarkan nasehat orang, kali ini begitu patuh. Apapun yang dikatakan dan disuruh suster kuturuti, semata demi yang terbaik untukmu. Kutahan suaraku agar tidak teriak lagi.

“ Windi, jangan mengejan di tenggorokan, kamu harus mendorong kakimu saat mengejan, dan lihat ke arah perut “ begitu si dokter menasehatiku.

Segera kuturuti perintahnya. Begitu disuruh mengejan lagi, sekuat tenaga kudorong kakiku dan mengarahkan pandanganku ke arah perut.

“ Ayo dek, sebentar lagi dek, tahan “ Ayahmu pun tak mau kalah menyemangatiku.

Setelah kurasakan nafasku hampir habis, namun tidak mau untuk mengulang proses dari awal lagi, dengan sungguh-sungguh kukerahkan segenap dayaku , ini yang terakhir pikirku. Disitulah rasanya hidup dan mati begitu tipis, dan kurasa mungkin banyak urat sarafku yang putus akibat tenaga yang kukerahkan untuk mendorongmu.

Sekonyong-konyong seperti ada sesuatu yang keluar dari tubuhku, kepalamu nak, dan tiba-tiba terdengar tangismu memecah,memenuhi ruangan. Rasanya legaaaa luar biasa, nikmat tiada tara. Plong dan aduuuh nak aku tak tahu mendeskripsikannya. Tapi benar-benar enaaak dan nikmaaat. Mungkin inilah anugerah yang diberikan Allah kepada para wanita yang tak mungkin dapat dirasakan kaum pria. Kenikmatan pasca melahirkan, subhanallahu, benar-benar luar biasa. Bukan dalam arti kiasan tapi nikmat dalam arti yang sebenarnya. Aku belum pernah merasakan yang lebih dari perasaan ini. 



Detik itu juga aku berkata dalam hati “ Aku mau melahirkan lagi “ 






Menjelang Kelahiranmu


Satu hari sebelum engkau menghirup udara di dunia ini

Hari ini tepat 40 minggu kau bersemayam di rahim bunda. Menurut perkiraan dokter, seharusnya hari ini sosok mungilmu sudah ada dalam gendonganku. Namun entah kenapa, sepertinya kau begitu betah berada di dalam sana. Mungkin alam rahim begitu nyaman untukmu, sehingga tanda-tanda kontraksi pun tak jua datang.

Tentu saja aku uring-uringan. Rasanya seperti menunggu kekasih yang tak kunjung datang. Bisa kau bayangkan, seperti menunggu seseorang yang begitu kau rindu keluar dari pintu kedatangan sebuah bandara. Berkali-kali kau akan melongok ke sana. Tak sedetik pun kau palingkan wajahmu dari arahnya. Dan saat yang kau nanti tak menampakkan batang hidungnya, maka kecemasan menghinggapimu. Ada apakah?. Apa semua baik-baik saja?, apa ada masalah?. Begitu pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di kepalaku.

Tak urung ayahmu pun gelisah. Keluarga besar pun sudah berkumpul di rumah kita. Omamu,opa, bahkan adikku yang juga tentemu dari Bandung sudah sejak dua hari yang lalu mendarat di Medan untuk menyaksikan kehadiranmu di tengah-tengah kami. Semua tak sabar untuk menyambutmu. Hal yang sangat lumrah mengingat telah lima tahun kami menantimu.

Akhirnya omamu memutuskan pulang dulu ke rumah. Rumah kita kembali sepi.

Tak menunggu lama, esok harinya aku dan ayahmu langsung mengunjungi dokter kandungan yang selama ini menangani kehamilanku. Syukurlah saat di USG ternyata kau baik-baik saja, bahkan sedang tersenyum-senyum menatap ke arah kami. Seolah mengatakan “ Hei, tunggu aku yah bunda, sabaar”. Mendengar dokter mengatakan bahwa everything is gonna be alright, aku pun lega. Namun dokter menyarankan bila sampai besok pagi tidak ada tanda-tanda kau akan keluar, aku harus segera ke rumah sakit agar dilakukan tindakan untuk merangsang dirimu mencari jalan lahir.

Aduuh, mendengarnya aku langsung tidak tenang. Dalam bayanganku , apa yang kutakutkan akan terjadi, seperti cerita-cerita temanku, ujung-ujungnya dokter pasti melakukan tindakan operasi jika kau tak kunjung muncul. Padahal dari awal kehamilan aku sudah bertekad untuk melakukan persalinan secara normal. Bukan karena sok kuat atau apa, tapi setelah penantian panjang ini, aku ingin benar-benar merasakan kehadiranmu secara alami, merasakan dirimu keluar dari diriku dalam keadaan sadar bukan dalam pengaruh bius.

Maka sepulang dari dokter, jam delapan malam, aku pun heboh mengambil kain pel di rumah. Seluruh lantai rumah aku pel sambil jongkok (ngepel ala mbok2). Karena menurut orang-orang, cara tersebut bisa mempercepat kontraksi. Kata abangku udah kasep, harusnya dari sebulan yang lalu aku sudah melakukannya. Yah benar juga, aku memang termasuk ibu hamil yang sangat pemalas. Udah sering dinasehatin orang supaya banyak jalan, banyak ngepel menjelang lahiran, tapi aku tak melakukannya. Jalan pagi paling hanya kulakukan dua sampai tiga kali saja. Di usia Sembilan bulan , kakiku bengkak dan sakit buat dibawa jalan, makanya aku malas sekali melakukan jalan pagi. Ditambah ayahmu yang susah sekali dibangunkan pagi-pagi, lengkaplah kami menjadi pasangan yang pemalas.

Awalnya niat banget, jalan pagi di lapangan Merdeka Medan, satu keliling lapangan kujalani bersama ayahmu. Yang kedua, jalan keliling komplek perumahan kita, tapi begitu ketemu tukang roti, jalan pagi pun berhenti ,diteruskan dengan menyantap roti bantal yang entah mengapa begitu kugandrungi selama mengandungmu. Dan kali ketiga, ya di pagi hari kelahiranmu, setelah malamnya aku mengunjungi dokter, pagi-pagi ayahmu pun mengajakku jalan keliling komplek lagi. Kali ini agak jauhan dan agak lamaan. Berharap sekali tiba-tiba aku merasakan sakit.  Namun, tampaknya semua usaha dadakan tersebut tak bisa membujukmu untuk keluar.

Malam itu walau lelah luar biasa sehabis mengepel seantereo rumah, mataku tak kunjung mau dipejamkan. Ketakutan menguasaiku. Sungguh aku tidak tenang. Berulangkali ayahmu memintaku untuk segera tidur, katanya kalau besok aku bersalin biar punya tenaga. Duh bukannya malah ngantuk, aku malah tambah senewen mendengar kata bersalin.

Untuk menenangkan diri, kubuka internet. Kutelusuri semua informasi yang ada tentang proses kelahiran yang lewat waktu. Kebanyakan mengatakan itu adalah hal yang wajar apalagi untuk kehamilan pertama. Informasi mengenai induksi pun kubaca dengan rakus. Hmm syukurlah ternyata dari beberapa artikel tidak ada yang mengatakan bahwa tindakan itu berbahaya bagi janin dan ibu.

Awalnya aku dan ayahmu berpikir untuk menunggu kontraksi saja beberapa hari lagi, karena katanya mbah google, usia kehamilan itu masih normal sampai usia 41 minggu. Namun, setelah ayahmu menelepon teman yang ayahnya dokter kandungan juga dan menyarankan agar segera saja dilahirkan, kami pun jadi galau lagi. Bagiku apapun yang terpenting adalah keselamatanmu. Walaupun di internet bilang usia kehamilanku masih wajar, namun karena dokter bilang demikian, aku lebih memilih saran dokter yang menurutku pasti lebih tahu kondisiku dan dirimu di dalam sana.

Hingga subuh, ternyata aku tetap tidak bisa tidur. Sayang….. bundamu yang gahar ini ternyata penakut.


Woman in My Life.Memberi Yang Terbaik Seperti Pertamax


Wanita dalam hidup saya

Tanpa perlu berfikir otomatis saya akan menjawab dialah wanita yang atas ijin Allah telah membawa saya ke dunia ini. Memberi kesempatan kepada saya merasakan pahit manisnya hidup. Dia pula yang telah merelakan hari-harinya selama 9 bulan lebih terbebani oleh saya, merelakan tubuhnya membesar demi tercukupinya kebutuhan gizi, membiarkan kulit mulusnya terkotori oleh jejak-jejak selulit demi kenyamanan saya di dalam rahimnya

Dialah yang oleh sang rahim diberi gelar kehormatan bernama IBU. Darinyalah sumber kehidupan dan pelajaran hidup pertama kali saya reguk.

Piala

Kemarin malam, sambil memandangi pergerakanmu di perut bunda, ayahmu bertanya nak, kalau kamu besar akan kemana kami arahkan dirimu?. Hal ini sudah sering sekali kami bicarakan. Tentang mimpi-mimpi kami untukmu. Bahkan kami sudah membicarakan seperti apa dirimu saat menapaki jenjang kuliah kelak.

Zaman ini nak, banyak orangtua yang berlomba-lomba ingin anaknya berprestasi, apa saja. Orangtua yang begitu terobsesi dengan gelar dan penghargaan. Sampai-sampai bunda takut, apakah bunda kan menjadi ibu yang demikian juga saat engkau telah lahir nanti?.

Kamu tahu sayang, sekarang ini jamannya pergaulan bisa menembus ruang dan waktu, melalui media social. istilah kerennya era digital. Manusia lain dari belahan bumi manapun bisa terhubung hanya oleh sebuah jaringan bernama internet. Eksistensi seseorang pun sekarang tidak hanya dibuktikan di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Tak heran berlomba-lomba orang katanya mengaktualisasikan diri dalam berbagai hal. Tak terkecuali para orangtua khususnya seorang ibu.

Berapa banyak ibu yang bunda lihat berpacu dan berlomba mengeluarkan sejumlah uang di facebook demi sebuah piala. Ya piala nak, bukti sebuah prestasi. Banyak macamnya, mulai dari foto senyum, foto sehat sampai foto cemberut. Fenomena yang aneh.

Saat bunda kecil dulu, bunda masih ingat tak satu pun piala pernah menghiasi rumah omamu. Tidak dari bidang pendidikan maupun bidang yang lain. Padahal bundamu ini juara kelas lo sayang, tapi tidak pernah sekalipun mendapat piala. Apakah itu mengurangi kebanggaan oma dan opamu pada kami?. Ngga sayang. Kami tetaplah anak kebanggaan mereka.

Bahkan hingga detik ini tak sekalipun kami persembahkan sebuah piala kepada oma opamu. Begitu pun ayahmu. Namun beberapa waktu yang lalu saat bunda bercengkaram dengan kakekmu, bapaknya ayahmu terpancar sejuta kebanggannya pada ayahmu. " Dia anak yang patuh dan penurut " kata kakekmu sambil menerawang. Dengar nak, bukan piala yang membuat seorang ayah bangga pada putranya.

Akhirnya bunda jawab pertanyaan ayahmu, kemana kakimu melangkah kesitulah kami akan mengarahkanmu, mendukungmu dengan sepenuh jiwa raga kami. Kamu tak perlu menjadi putri bunda yang mahir berlenggak lenggok di atas catwalk. Kamu pun tak perlu menjadi gadis kecil bunda dengan senyum maut yang mampu meluluhkan hati juri. Cukuplah menjadi anak yang menyejukkan hati kami dengan perilakumu, yang menenangkan mata saat kami memandangmu dan menentramkan hati saat kau jauh dari jangkauan kami.

Namun sebelum itu semua terjadi, bunda cuma minta jaga dirimu di dalam sana ya sayang. Sehat-sehat selalu dan bantu bunda untuk membawamu bertemu dengan orang-orang yang sangat menyayangimu.

Prestasi

Halo sayang... bunda lupa memberi kabar padamu. Beberapa waktu lalu tulisan kolaborasi kamu dan bunda berhasil meraih penghargaan dari Aqua. Juara tiga sayang. Memang bukan pemenang utama, tapi bunda bahagia sekali.

Yang paling menggembirakan itu sebenarnya bukan memenangkan sesuatu tapi saat tulisan kita di apresiasi oleh orang lain. Dalam hal ini juri. Sayang bunda ngga bisa menghadiri acara penganugerahannya. Awalnya ayahmu yang akan berangkat, namun karena pekerjaan kantor yang tak dapat ditinggalkan akhirnya oma yang berangkat.

Kamu tahu sayang, oma terlihat begitu bahagia, begitu bangga dengan kita. Ssst kata opamu, oma tak henti-hentinya membicarakan bunda kepada teman-temannya. Bukti bahwa ia sangat bangga dengan bunda. Xixixix bunda kegeeran. 

Nak, omamu itu adalah orang yang punya prestasi lebih dibanding teman-temannya, makanya bunda bahagia sekali saat bisa melihat omamu tersenyum begitu merekah saat menerima penghargaan yang harusnya bunda yang menerima.

Kamu tahu sayang, prestasi seorang anak itu bisa mengalahkan duka sebesar gunung bagi orangtua. 

Bunda berdoa semoga nantinya kamu juga menjadi kebanggan kami ya sayang. Bukan dalam arti harus prestasi yang gegap gempita, tapi saat kamu mampu membuat ayah dan bunda tersenyum itu sudah merupakan prestasi seorang anak.

Peluk cium dari ayahmu. Ngga sabar menunggu kelahiranmu nak, sehat-sehat di dalam ya cinta bunda.